Senin, 02 Januari 2012


BAB 3 (Chapter 3#) page 132

Etika dalam mengelola perusahaan dan Pertanggung-jawabannya

Bisnis, Director, Eksekutif, dan Akuntan Profesional semakin tinggi menghadapi tuntutan dari pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya, untuk apa yang organisasi lakukan dan bagaimana mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan yang beroperasi di organisasi semakin kompleks,seperti juga tantangan etika mereka. Organisasi pemerintahan dan mekanisme akuntabilitas yang ada di bawah tekanan yang cukup besar untuk kedepannya, dan mengharapkan perbaikan.

Mencoba dan terkadang salah dalam mengambilan keputusan yang akan melibatkan risiko yang tinggi dan konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi reputasi dan pencapaian tujuan stategis organisasi profesi, karyawan, dan akuntan profesional. Akibatnya, para pemimpin organisasi atau profesional akuntansi dan perusahaan diharapkan untuk dimasukkan ke dalam program-program pemerintahan tempat yang memenuhi harapan. meskipun pengenalan pemerintahan etika dan program akuntabilitas adalah sukarela dan beberapa organisasi tidak akan pernah melakukannya. Para Direktur, Eksekutif, dan Akuntan Professional yang ingin mengurangi risiko yang terlibat dalam penyimpangan etika dan menikmati manfaat pada dukungan pemangku kepentingan lainnya akan melanjutkan.

Direktur, Eksekutif, dan Akuntan Professional semua memiliki peran penting untuk pemerintahan etis dan akuntabilitas, mereka semua melayani dengan tujuan yang sama, tetapi tingkatan yang berbeda dari tugas dan tanggun jawabnya. Bab ini berkaitan dengan kedua aspek yang berbeda umum yang terkait dengan peran masing-masing, Pertama yang muncul adalah kerangka kerja yang dikembangkan, dan kemudian ancaman umum untuk pemerintahan yang baik dibahas, diikut oleh hal-hal yang berkaitan dengan korporasi dan yang berkaitan dengan akuntan profesional.



BAB 4 (Chapter 4#) page 217

Akuntansi profesionaluntuk kepentingan umum(pasca Enron)

Ketika debacles Enron, Arthur Andersendan World Commemicu Sarbanes Oxley Act of 2002 (SOX), era baru harapan para pemangku kepentingan mengkristal bagi dunia bisnis dan khususnya bagi akuntan profesional yang melayani di dalamnya.Mereka menjauh dari peran akuntan profesionals ebagai pemegang amanah untuk bahwa orang bisnis yang disebut inti pertanyaan dan terbalik.

Prinsip – prinsip yang melahirkan harapan baru dan diperbaharui mengakibatkan perubahan dalam bagaimana profesional akuntan untuk berperilaku, layanan apa yang akan ditawarkan, dan apa standar kinerja yang harus dipenuhi. Standar ini telah tertanamdalam struktur pemerintahan baru dan dalam bimbingan mechanisme, yang memiliki komponen domestik dan internasional.Pengaruh dari Standar Akuntansi Internasional (IASB) dan Federasi Internasional dari Accountings (IFAC) akan seperti yang SOX dalam jangka panjang.

Bab ini membahas masing-masing pembangunan ini dan memberikan wawasan ke daerah – daerah penting dari praktek saat ini dan masa depan, membangun di atas pemahaman tentang kerangka kerja akuntabilitas pemangku kepentingan baru yang dihadapi klien yang dikembangkan dalam bab-bab sebelumnya, Bab ini mengeksplorasi harapan publik untuk peran akuntan profesional dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pemakaian peran itu.ini mengarah pada pertimbangan implikasi untuk layanan yang akan ditawarkan dan “nilai tambah” kunci atau keunggulan kompetitif yang akuntan harus fokus perhatian mereka untuk mempertahankan reputasi dan kekuatan yang mereka miliki.

Minggu, 01 Januari 2012

TUGAS KELOMPOK : IKLAN DI WILAYAH SURABAYA

Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup pesat, tentunya memiliki problematika tersendiri. Salah satunya adalah permasalahan dengan penataan reklame / iklan.

Berikut ini adalah contoh – contoh reklame / iklan yang ada di wilayah Surabaya, yang penataan atau pemasangannya tidak sesuai peraturan yang telah ada.

 1. Reklame / Iklan di pertigaan Jalan Nyamplungan, Ampel
Reklame / Iklan tersebut dipasang dengan memanfaatkan batang pohon yang ada. Tidak ada tiang penyanggah yang digunaakan untuk memasang reklame / iklan tersebut

2.     Reklame / Iklan di perempatan Jalan Barata, Ngagel
Reklame tersebut dipasang di tikungan dan disanggah dengan tiang kayu, yang apabila terkena angin atau hujan, bisa roboh setiap saat 


    Reklame / Iklan di jalan Kusuma Bangsa, depan Hitech Mall
 Tiang penyangga reklame / iklan tersebut berada di atas bangunan yang ada di bawahnya.


4.    Reklame / Iklan di jalan area perumahan Manyar Kertoarjo, pertigaan Ngagel - Pucang, 
dan jalan Nyamplungan
Reklame / Iklan yang terpampang pada gambar-gambar tersebut di bawah ini tidak dipasang atau diletakkan di tempat seharusnya. Kebanyakan di pasang di fasilitas umum, pepohonan, dan tiang listrik.







Daftar Nama Kelompok :
  1. Siti Romlah                 01109004
  2. Triana Rachmawati     01109012
  3. Ni'matus Sholihah       01109050


Minggu, 04 Desember 2011

Tugas Kelompok " Jurnal Internasional "

II Coloquio Predoctoral Latinoamericano                                                 Puerto Plata, Santo Domingo
XXXIX Asamblea Anual de CLADEA                                                                    Octubre 19 y 20, 2004

Knowledge Management Systems and their Impact on Knowledge-Intensive Business Processes

José Antonio Robles-Flores
Doctoral Program in Information Systems
W.P. Carey School of Business
Arizona State University
P.O. Box 874606
Tempe, AZ 85287-4606
Teléfono(1) 480-965-3252
Fax (1) 480-965-8392

II Coloquio Predoctoral Latinoamericano XXXIX Asamblea Anual de CLADEA


Puerto Plata, Santo Domingo Octubre 19 y 20, 2004

Abstract
As knowledge has become an important asset for most organizations, knowledge management and knowledge management systems are both the center of attention for many practitioners, business consultants, and researchers. The key issue is how to enhance firm performance by using knowledge effectively. The process level is actually where the work is accomplished and since measuring firm performance has proven a difficult endeavor, measuring process performance seems more practical. We believe there is agreement in the literature that knowledge management and knowledge management systems positively impact the performance of business processes. At the same time, our research finds that there is still need for empirical research that shows that impact. Our research is focused in finding out what is the contribution of knowledge management systems to business process performance.
Introduction
During the last few years organizations have being looking at knowledge as a resource. They are giving such an important status to the knowledge resource that a special type of information systems are also being developed as Knowledge Management Systems (KMS) (Alavi and Leidner, 2001). In the strategic management literature, a knowledge based perspective of the firm has emerged (Cole, 1998; Spender, 1996a, 1996b; Nonaka and Takeuchi, 1995). It is believed that the organizational knowledge is embedded in processes, procedures, individual employees, systems, and culture shaping the way the tangible organizational assets and resources are used in order to create value for the firm. This means that intangible (knowledge) assets have an impact on the use of the tangible assets creating competitive advantage and enhancing firm performance. there are numerous papers and articles that recognize the impact of knowledge management on business performance as it was found by Becerra-Fernandez and Sabherwal (2001) but there is no research in what is the contribution of knowledge management initiatives to firm performance.
On the other hand, determining firm performance has long being an area of much debate and few consensus. Although today there is agreement in that intangible assets such as spending on R&D, Internet and Web applications, human resources, and customer acquisition significantly influence the performance of companies (Lev, 2001), measurement is still a matter of debate. These intangibles are not part of the financial reports which complicates even more the measurement of these intangibles.
As we move forward in our literature review, we find that there is agreement both from the academic community as well as from the practitioners community, that Knowledge Management Systems do have a positive impact on the performance of the organizations. However, we have not been able to find empirical research work that tests and verifies whether knowledge management systems improve firm performance.
It is important at this point to review what are the problems in measuring firm performance. First, firm performance is largely affected by many different factors, both endogenous and exogenous to the organization. Even further in the complexity, firm performance is usually affected by many factors. Sometimes, one single external event in the countrys economy may greatly affect levels of sales. Independently of the investment in information technology to improve sales, like Customer Relationships Management systems, sales might not increase due to the

II Coloquio Predoctoral Latinoamericano XXXIX Asamblea Anual de CLADEA


Puerto Plata, Santo Domingo Octubre 19 y 20, 2004

external event. Therefore, investment in CRM systems may be mistakenly taken as a bad investment because it did not help increase revenue.
The problem is that many investments in intangible assets take some time to actually influence performance and in the lapse of time between the acquisition of the intangible asset and the actual influence of its use any other external or internal event may affect the outcomes.
This type of problems create a challenge when trying to measure the value of these intangible assets. Knowledge Management Systems (KMS), as a special kind of information system, is no different to an intangible asset.
For this reason, we propose to measure the impact of these KMS at a different level in order to facilitate and isolate the effects of implementing knowledge management systems.
On the other hand, we realize that knowledge management systems are intended for particular areas and processes within the organization. As a special kind of information system, knowledge management systems are intended to enhance business processes where some type of knowledge is of particular relevance. We describe this type of processes as knowledge intensive business processes.
A Knowledge Intensive Business Process (KIBP) is a business process that cannot be automated due to the need of some human expert intervention in order to better perform the process. Examples of knowledge intensive business processes include product development, marketing campaigns, systems analysis and design, and strategy
A Knowledge-intensive business process is characterized by the fact that knowledge is a primary resource for that process.
In order to assess the effectiveness of knowledge management, it is important to measure knowledge (Ahn, 2003). But according to Ruggles (1998) findings, it is difficult to measure the value and the performance gain from knowledge assets
Massey et al (2002) show that the performance environment has three levels: individuals (performers), process, and business. They also argue that the process level is where the work is actually accomplished and is actually the link between the other two levels of performance: business and individual performance. However, they also recognize that the process level of performance is usually the least managed level and therefore the one that requires more attention.
Contributions of the Research Project
Research Questions
Based  on  the  discussion  presented  above,  we  have  the  following  main research question, which will drive our work:
·    To   what   extent   do   Knowledge   Management   Systems   impact   the performance of knowledge-intensive business processes?
As a consequence of  our main research question we have the following questions:

II Coloquio Predoctoral Latinoamericano XXXIX Asamblea Anual de CLADEA


Puerto Plata, Santo Domingo Octubre 19 y 20, 2004

·     What kind/type of Knowledge Management Systems have greater
impact on Knowledge-Intensive Business Processes?
·     How different is the impact of Knowledge Management Systems on
business processes that are not knowledge-intensive?
·     To what extent is it possible to automate knowledge-intensive business
processes using knowledge management systems?
·     What are the key success factors in implementing knowledge
management systems?
·     To what extent is different the impact of knowledge management
systems on the performance of knowledge-intensive business process
and the impact of information systems on the performance of business
processes in general? To what extent are KMS different from
Information Systems?
Hypotheses
Research Methodology
Ideally, to answer our questions we should get a sample of organizations from different industries and we should initially measure the performance of selected knowledge intensive business processes that we believe are not being supported by knowledge management systems. Then, we should initiate some knowledge management system initiative and after some time of implementation we would go back to each organization and measure again the performance of each selected knowledge-intensive business process in order to find the gaps.
The above scenario, although theoretically possible, has several problems: the first one is related to practical issues. It does not seem realistic that we will be able to obtain a number of organizations that will let us use them as our research grounds. The second problem is related to an important issue when doing experiments: how can we isolate the effect of our knowledge management systems in such a way that it will be the only variable?, that also seems impossible in practice since many other variables may also affect the performance of the knowledge-intensive business process. Finally, even if we could overcome the first two problems, the time required to accomplish our measurement goals will exceed all practical boundaries up to the point to make this research project obsolete.
In order to overcome the problems presented above, we propose to set an experimental design. This will allow us to control for external variables, control our participants sample, and should allow us to get measurements in an appropriate time frame. Of course, a laboratory experiment does have some problems, too. Particularly we will reduce the generalizability of our conclusions; but we remind the reader that this research project is intended to be an exploratory study of the relationship between knowledge management systems and the performance of knowledge-intensive business processes.

II Coloquio Predoctoral Latinoamericano XXXIX Asamblea Anual de CLADEA


Puerto Plata, Santo Domingo Octubre 19 y 20, 2004

References
Ahn, JH, and Chang, SG 2004. Assessing the Contribution of Knowledge To Business Performance: The KP3 Methodology. Decision Support Systems (36) pp 403-416.
Alavi, M. and Leidner, D. 2001. Knowledge Management and Knowledge Management Systems: Conceptual Foundations and Research Issues. MIS Quarterly (25:1) pp. 107-136.
Becerra-Fernandez, I and Sabherwal, R. 2001. Organizational Knowledge Management: A Contingency Perspective. Journal of Management Information Systems (18:1), pp 23-55.
Cole, R.E. 1998. Introduction, California Management Review (45:3) pp 15-21. Davenport, T.H. and Prusak, L. 1998.     Working Knowledge.     Harvard Business School Press, Boston.
Gu, F. and Lev, B. 2001. Intenagible Assets. Measurement, Drivers, Usefulness.Unpublished paper downloaded from Baruch Levs web site: http://pages.stern.nyu.edu/~blev/intangibles.html
Lev, B. and Sougiannis, T. 1996. The Capitalization, Amorization and Value-Relevance of R&D, Journal of Accounting and Economics (21:1) pp107-138.
Lev, B. 2001. Intangibles: Management, Measurement, and Reporting. Brookings Institution Press. Washington DC.
Maccormack, A. 2002. Siemens ShareNet: Building A Knowledge Network. (Case) Harvard Business School Publishing, Boston.
Massey, A.P.; Montoya-Weiss, M.M.; and ODriscoll, T.M. 2002. Performance-Centered Design of Knowledge-Intensive Processes Journal of Management Information Systems (18:4) pp 37-58.
Nonaka, I., and Takeuchi, H. 1995. The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford University Press, New York.
Ohlson, J. 1995. earnings, Book Value, and Dividends in Security Valuation,Contemporaty Accounting Research, (11:2) pp661-687.
Pfeffer, J. and Sutton, R.I. 2000. The Knowledge-Doing Gap: How Smart Companies Turn Knowledge into Action. Harvard Business School Press, Boston.
Remus, U. and Schub, S. 2003. A Blueprint for the Implementation of Process-Oriented Knowledge Management Knowledge and Process Management (10:4) pp 237-253.
Schack, T. 2004. Knowledge and Performance in Action. Journal of Knowledge Management (8:4) pp 38-53.

Sistem Manajemen Pengetahuan dan Dampak pada Pengetahuan-Intensif Proses Bisnis

Sebagai pengetahuan telah menjadi aset penting bagi kebanyakan organisasi, manajemen pengetahuan dan sistem manajemen pengetahuan yang baik pusat perhatian bagi banyak praktisi, konsultan bisnis, dan peneliti. Masalah utama adalah bagaimana meningkatkan kinerja perusahaan dengan menggunakan pengetahuan secara efektif. Tingkat proses sebenarnya di mana pekerjaan dilakukan dan karena pengukuran kinerja perusahaan telah terbukti upaya yang sulit, mengukur kinerja proses tampaknya lebih praktis. Kami percaya ada kesepakatan dalam literatur bahwa pengetahuan manajemen dan sistem manajemen pengetahuan dampak positif kinerja proses bisnis. Pada saat yang sama, penelitian kami menemukan bahwa masih ada kebutuhan untuk penelitian empiris yang menunjukkan dampak tersebut. Penelitian kami adalah fokus dalam mencari tahu apa merupakan kontribusi dari sistem manajemen pengetahuan untuk kinerja proses bisnis.

Selama beberapa tahun terakhir organisasi yang melihat pengetahuan sebagai sumber daya. Mereka memberikan status penting seperti ke sumber daya pengetahuan yang tipe khusus dari sistem informasi juga sedang dikembangkan sebagai Sistem Manajemen Pengetahuan (KMS) (Alavi dan Leidner, 2001). Dalam literatur manajemen strategis, "pengetahuan berdasarkan perspektif" perusahaan telah muncul (Cole, 1998; Spender, 1996a, 1996b; Nonaka dan Takeuchi, 1995). Hal ini diyakini bahwa organisasi pengetahuan tertanam dalam proses, prosedur, karyawan individu, sistem, dan budaya membentuk cara organisasi aset berwujud dan sumber daya yang digunakan dalam rangka menciptakan nilai bagi perusahaan. Ini berarti bahwa tidak berwujud (pengetahuan) aset berdampak pada penggunaan aset berwujud menciptakan keunggulan kompetitif dan meningkatkan kinerja perusahaan. ada banyak makalah dan artikel yang mengakui dampak dari manajemen pengetahuan pada kinerja bisnis seperti yang ditemukan oleh Becerra-Fernandez dan Sabherwal (2001) tetapi tidak ada penelitian dalam apa yang merupakan kontribusi dari inisiatif manajemen pengetahuan untuk kinerja perusahaan.

Di sisi lain, kinerja perusahaan telah lama menjadi menentukan area dari banyak perdebatan dan sedikit konsensus. Meskipun saat ini ada kesepakatan dalam aset tak berwujud, seperti pengeluaran pada R & D, Internet dan aplikasi Web, sumber daya manusia, dan akuisisi pelanggan berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan (Lev, 2001), pengukuran masih menjadi bahan perdebatan. Ini berwujud bukan bagian dari laporan keuangan yang lebih merumitkan pengukuran tersebut berwujud.

Ketika kita bergerak maju dalam tinjauan pustaka kita, kita menemukan bahwa ada kesepakatan baik dari komunitas akademis serta dari komunitas praktisi, Sistem Manajemen Pengetahuan yang memiliki dampak positif pada kinerja organisasi. Namun, kami belum dapat menemukan pekerjaan penelitian empiris yang menguji dan memverifikasi apakah pengetahuan sistem manajemen meningkatkan kinerja perusahaan.

Hal ini penting pada saat ini untuk meninjau apa masalah dalam mengukur kinerja perusahaan. Pertama, kinerja perusahaan sebagian besar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik endogen dan eksogen bagi organisasi. Bahkan lebih lanjut dalam kompleksitas, kinerja perusahaan biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kadang-kadang, satu peristiwa eksternal tunggal dalam perekonomian negara itu sangat mungkin mempengaruhi tingkat penjualan. Terpisah dari investasi dalam teknologi informasi untuk meningkatkan penjualan, seperti sistem Manajemen Hubungan Pelanggan, penjualan mungkin tidak meningkat akibat peristiwa eksternal. Oleh karena itu, investasi dalam sistem CRM dapat keliru dianggap sebagai investasi yang buruk karena tidak membantu peningkatan pendapatan.

Masalahnya adalah bahwa banyak investasi dalam "berwujud" aset mengambil beberapa waktu untuk benar-benar mempengaruhi kinerja dan dalam selang waktu antara perolehan aktiva tidak berwujud dan pengaruh sebenarnya dari penggunaan setiap peristiwa eksternal atau internal lainnya dapat mempengaruhi hasil.

Ini jenis masalah menciptakan tantangan ketika mencoba untuk mengukur nilai dari aset tidak berwujud. Sistem Manajemen Pengetahuan (KMS), sebagai jenis khusus sistem informasi, tidak berbeda dengan aset "tidak berwujud".

Untuk alasan ini, kami mengusulkan untuk mengukur dampak dari KMS pada tingkat yang berbeda dalam rangka untuk memfasilitasi dan mengisolasi efek dari menerapkan sistem manajemen pengetahuan.

Di sisi lain, kita menyadari bahwa pengetahuan sistem manajemen ditujukan untuk daerah-daerah tertentu dan proses dalam organisasi. Sebagai jenis khusus dari sistem informasi, pengetahuan sistem manajemen dimaksudkan untuk meningkatkan proses bisnis di mana beberapa jenis pengetahuan adalah relevansi khusus. Kami menggambarkan jenis proses sebagai "proses pengetahuan bisnis yang intensif".

Sebuah Bisnis Pengetahuan Proses Intensif (KIBP) adalah proses bisnis yang tidak dapat otomatis karena membutuhkan beberapa intervensi ahli manusia dalam rangka untuk lebih melakukan proses.

Contoh proses bisnis pengetahuan intensif termasuk pengembangan produk, kampanye pemasaran, analisis sistem dan desain, dan strategi. Sebuah Pengetahuan-intensif proses bisnis dicirikan oleh kenyataan bahwa pengetahuan adalah sumber daya utama untuk proses tersebut. Dalam rangka untuk menilai efektivitas manajemen pengetahuan, penting untuk mengukur pengetahuan (Ahn, 2003). Namun menurut Ruggles (1998) temuan, sulit untuk mengukur nilai dan keuntungan kinerja dari aset pengetahuan.

Massey et al (2002) menunjukkan bahwa kinerja lingkungan memiliki tiga tingkat: individu (performer), proses, dan bisnis. Mereka juga berpendapat bahwa tingkat proses adalah tempat kerja sebenarnya dilakukan dan sebenarnya hubungan antara dua tingkat lain dari kinerja: bisnis dan kinerja individu. Namun, mereka juga mengakui bahwa tingkat kinerja proses biasanya tingkat paling berhasil dan karena itu salah satu yang memerlukan perhatian lebih.

Kontribusi Proyek Penelitian
Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pembahasan yang disajikan di atas, kita memiliki pertanyaan penelitian utama berikut, yang akan mendorong pekerjaan kami:
  • Sampai sejauh mana dampak Pengetahuan Sistem Manajemen kinerja pengetahuan-intensif proses bisnis?
Sebagai konsekuensi dari pertanyaan penelitian utama kami kita memiliki pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Apa jenis / tipe Sistem Manajemen Pengetahuan memiliki lebih berdampak pada Pengetahuan-Intensif Proses Bisnis? 
  • Bagaimana berbeda adalah dampak dari Sistem Manajemen Pengetahuan proses bisnis yang tidak pengetahuan intensif? 
  • Sampai sejauh mana adalah mungkin untuk mengotomatisasi bisnis pengetahuan intensif proses menggunakan sistem manajemen pengetahuan?
  • Apa saja faktor kunci keberhasilan dalam menerapkan pengetahuan sistem manajemen?
  • Sampai sejauh mana dampak yang berbeda dari manajemen pengetahuan sistem pada kinerja pengetahuan-intensif proses bisnis dan dampak sistem informasi terhadap kinerja bisnis proses secara umum? Sejauh mana KMS berbeda dari Sistem Informasi?

Hipotesis
Metodologi Penelitian

Idealnya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, kita harus mendapatkan sampel organisasi dari industri yang berbeda dan kita awalnya harus mengukur kinerja dipilih-intensif pengetahuan proses bisnis yang kami percaya tidak didukung oleh sistem manajemen pengetahuan. Kemudian, kita harus memulai beberapa inisiatif manajemen pengetahuan sistem dan setelah beberapa saat pelaksanaan kita akan kembali ke setiap organisasi dan mengukur lagi kinerja dari setiap proses pengetahuan intensif dipilih bisnis dalam rangka untuk menemukan kesenjangan. Skenario di atas, meskipun secara teoritis mungkin, memiliki beberapa masalah: yang pertama adalah terkait dengan isu-isu praktis. Rasanya tidak realistis bahwa kita akan dapat memperoleh sejumlah organisasi yang akan membiarkan kita menggunakannya sebagai dasar penelitian kami. Masalah kedua adalah terkait dengan isu penting ketika melakukan percobaan: bagaimana kita bisa mengisolasi efek dari sistem manajemen pengetahuan kita sedemikian rupa sehingga akan menjadi variabel saja, yang juga tampaknya tidak mungkin dalam praktek karena banyak variabel lain juga dapat mempengaruhi? kinerja dari proses bisnis pengetahuan intensif. Akhirnya, bahkan jika kita bisa mengatasi dua masalah pertama, waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengukuran kita akan melampaui semua batas-batas praktis sampai ke titik untuk membuat proyek penelitian ini usang.

Dalam rangka untuk mengatasi masalah di atas, kami mengusulkan untuk mengatur desain eksperimental. Ini akan memungkinkan kami untuk mengendalikan variabel eksternal, kontrol sampel peserta kami, dan harus memungkinkan kita untuk mendapatkan pengukuran dalam kerangka waktu yang tepat. Tentu saja, sebuah eksperimen laboratorium memang memiliki beberapa masalah juga. Terutama kita akan mengurangi generalisasi dari kesimpulan kita, tetapi kita mengingatkan pembaca bahwa proyek penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi sebuah studi eksplorasi hubungan antara sistem manajemen pengetahuan dan kinerja pengetahuan-intensif proses bisnis.

Referensi
  1. Ahn, JH, dan Chang, SG 2004. "Menilai Kontribusi Pengetahuan Untuk Kinerja Bisnis:    Metodologi KP3". Sistem Pendukung Keputusan (36) pp 403-416. 
  2.   Alavi, M. dan Leidner, D. 2001. "Pengetahuan Manajemen dan Sistem Manajemen Pengetahuan: Yayasan Konseptual dan Isu Penelitian." MIS Quarterly (25:1) hlm 107-136. 
  3. Becerra-Fernandez, I dan Sabherwal, R. 2001. "Manajemen Pengetahuan Organisasi: Sebuah Perspektif Kontingensi." Jurnal Sistem Informasi Manajemen (18:1), pp 23-55. 
  4. Cole, R.E. 1998. "Pendahuluan", California Management Review (45:3) pp 15-21. Davenport, T.H. dan Prusak, L. 1998. Pengetahuan bekerja. Harvard Business School Press, Boston. 
  5. Gu, F. dan Lev, B. 2001. "Intenagible Aset. . Pengukuran, Driver, Kegunaan kertas "yang tidak dipublikasikan download dari situs web Baruch Lev: http://pages.stern.nyu.edu/ ~ blev / intangibles.html 
  6. Lev, B. dan Sougiannis, T. 1996. "Para Kapitalisasi, Amortisasi dan Nilai-Relevansi dari R & D," Jurnal Akuntansi dan Ekonomi (21:1) pp107-138. 
  7. Lev, B. 2001. Berwujud: Manajemen, Pengukuran, dan Pelaporan. Lembaga Brookings Tekan. Washington DC. 
  8. Maccormack, A. 2002. "Siemens ShareNet: Gedung A Knowledge Network". (Kasus) Harvard Business School Publishing, Boston. 
  9. Massey, AP; Montoya-Weiss, MM, dan O'Driscoll, TM 2002. "Kinerja-Centered Desain Pengetahuan-Intensif Proses" Jurnal Sistem Informasi Manajemen (18:04) pp 37-58. 
  10. Nonaka, I., dan Takeuchi, H. 1995. Pengetahuan-Menciptakan Perusahaan: Cara Perusahaan Jepang Buat Dinamika Inovasi. Oxford University Press, New York. 
  11. Ohlson, J. 1995. "Pendapatan, Nilai Buku, dan Dividen dalam Penilaian Keamanan," Contemporaty Penelitian Akuntansi, (11:2) pp661-687. 
  12. Pfeffer, J. dan Sutton, R.I. 2000. Gap-Melakukan Pengetahuan: Bagaimana Perusahaan Pintar Hidupkan Pengetahuan ke dalam Tindakan. Harvard Business School Press, Boston. 
  13. Remus, U. dan Schub, S. 2003. "Sebuah Cetak Biru untuk Pelaksanaan Proses Manajemen Berorientasi Pengetahuan" Pengetahuan dan Manajemen Proses (10:04) pp 237-253. 
  14. Schack, T. 2004. "Pengetahuan dan Performa Aksi". Jurnal Manajemen Pengetahuan (8:4) pp 38-53. 
  15. http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_pengetahuan.( KMS). 
  16. http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_hubungan_pelanggan.( CRM ) 
  17. http://www.narotama.ac.id/




Tren perilaku Belanja di Mal

Tren Perilaku Belanja di MalPosted By Istijanto Oei On April 5, 2010 @ 3:43 pm In My Article
Pusat pembelanjaan atau mal banyak bertaburan di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Mal-mal baru terus bermunculan. Bagi konsumen atau penikmat jalan-jalan, tentu ini kabar menggembirakan. Mereka memiliki banyak pilihan. Namun, di sisi lain, terjadi persaingan antar mal memperebutkan pengunjung. Tak ayal, pengelola mal berkepentingan menarik pengunjung menjejali malnya.
Bagaimana perilaku para pengunjung di mal? Ini juga perlu diketahui. Dalam rangka itu, sebuah survei dilakukan dengan melibatkan 512 responden yang tinggal di berbagai perumahan di Jakarta dan sekitarnya. Pengambilan sampel memakai metode cluster. Survei dilakukan sebulan penuh pada Februari 2010 oleh Consumer Survey Indonesia (CSI).
Beberapa temuan menarik dapat dikemukakan di sini. Pertama, rata-rata frekuensi kunjungan orang ke mal adalah 6,5 hari sekali dengan variasi wanita tiap 6,1 hari sekali dan pria 7,1 hari sekali. Ini mengindikasikan wanita lebih doyan ke mal dan akhir pekan menjadi waktu yang pas untuk jalan-jalan. Temuan kedua mengenai durasi di dalam mal. Hasil riset menunjukkan rata-rata tiap orang menghabiskan 3,5 jam sekali kunjungan. Angka ini kalau dikonversikan ke satu tahun menghasilkan lama kunjungan 197 jam. Artinya, selama setahun orang mengisi hidupnya selama 197 jam di mal. uang yang diraup mal di Jakarta dari saku seorang pengunjung adalah Rp 10.921.000 per tahun
Temuan berikutnya yang menarik adalah uang yang dibelanjakan. Dalam sekali kunjungan, orang menghabiskan rata-rata Rp 194.500. Ini berarti uang yang diraup mal di Jakarta dari saku seorang pengunjung adalah Rp 10.921.000 per tahun. Kalau angka ini dikalikan dengan jumlah pengunjung mal, akan menghasilkan ukuran pasar yang fantastis. Jangan heran, di dalam mal terjadi perputaran uang yang demikian besar.
Pengelola mal sendiri selalu menampilkan keunikannya supaya menjadi daya tarik pengunjung. Demikian juga dengan keberadaan konter. Pengelola mal berkepentingan menempatkan konter-konter yang memiliki magnet atau jangkar penarik pengunjung (anchor). Urutan 10 besar konter yang berfungsi sebagai anchor dengan jawaban multiple response adalah pusat jajan atau foodcourt (60%), baju atau fashion (49%), supermarket (42%), toko buku (33%), bioskop (22%), resto atau café (20%), toserba atau department store (11%), aksesori (8%), arena bermain atau game (8%) dan musik (7%). Di konter-konter inilah perputaran uang yang besar terjadi.
Dari segi uang yang dibelanjakan, terdapat perbedaan mencolok dari segi usia. Mereka yang masih di usia sekolah menghabiskan Rp 160.000 sekali kunjungan. Kelompok usia yang paling berani membelanjakan uangnya adalah usia 36-40 tahun, yaitu sebesar Rp 337.000. Di atas usia 40 tahun, pengeluaran menurun di kisaran Rp 177.000. Temuan berikutnya yang juga tak kalah menarik: pengunjung mal kebanyakan tidak sendirian.
Selama berkunjung ke mal, orang paling banyak pergi bersama temannya (51%), lalu dengan keluarga (39%) dan terakhir sendirian (10%). Hasil ini mengukuhkan bahwa fungsi mal bukan lagi sekadar tempat membeli. Mal sudah menjelma sebagai tempat bergaya, mencari hiburan, bersantai dan bersosialisasi. Mal memang telah menjadi gaya hidup yang sulit dipisahkan dari kaum urban dan di sini pulalah peluang bisnis dapat dikail.
Fakta Perilaku Belanja di Mal di Jakarta Tahun 2010 :
1. Frekuensi kunjungan 6,5 hari sekali.
2. Lama per kunjungan 3,5 jam.
3. Uang yang dibelanjakan Rp 194.500/orang/kunjungan
4. Anchor foodcourt, fashion, supermarket, buku, bioskop, resto, department store, aksesori, game, musik
Hasil riset: Consumer Survey Indonesia, 2010
*Penulis adalah Eksekutif Riset Consumer Survey Indonesia, www.istijanto.com

Menurut saya mal- mal dan retail- retail diindonesia berjamur karena adanya permintaan dari konsumen, semakin majunya zaman ini manusia semakin disibukkan dengan banyak aktivitas yg menguras banyak tenaga dan pikiran, sehingga tidak ayal apabila banyak orang untuk merefresh pikiran dengan berbelanja dan shopping ke mal atau ke hypermarket walau hanya untuk sekedar jalan-jalan atau memang berbelanja kebutuhan hidup, dizaman sekarang ini tidak hanya wanita saja yang suka shopping bahkan laki-laki suka shopping karena sudah menjadi gaya hidup atau life style, apabila berbicara gaya hidup, wanita ataupun laki-laki tutup mata untuk masalah shopping, barang dengan harga berapapun akan dibeli bahkan yang juta hanya demi gaya hidup agar dipandang “ gaul “ bahasa kerennya, agar tidak dikucilkan dengan teman-teman bergaulnya.
Maka orang-orang yang berduit memanfaatkan kegilaan manusia zaman sekarang, maka banyak dikota –kota besar berdiri mal-mal,untuk mencapai keuntungan yang tinggi maka pemilik gedung mengunakan sistem sewa tenant/counter/stand, dengan begitu pemilik gedung tidak repot-repot mencari keuntungan, pemilik gedung hanya menciptakan bagaimana image masyarakat atau memandang mal tersebut banyak dikunjungi pengunjung, maka gedung sering mengadakan event-event yang besar agar menarik pengunjung

Senin, 28 November 2011

Tugas Iklan


Iklan ini termasuk iklan baru muncul akhir - akhir ini dan sering kita jumpai karena memang bertujuan mengenalkan produk baru ke masyarakat, tapi menurut saya iklan ini terlalu berlebihan atau hiperbola dan akan berdampak negatif terhadap anak - anak, selain itu kurang beretika dalam periklanan, memang membuat iklan sebaiknya sekreatif mungkin tapi masih dimasuk akal, sehingga masyarakat sebagia penikmat tidak terracuni hal - hal yang kurang baik terlebih kepada anak - anak, karena kalau diliat iklan ini tidak ada batasan waktu, tiap hari tiap pagi, siang bahkan malam, karena memang iklan segmentasinya seluruh lapisan masyarakat, dari anak - anak bahkan sampai orang tua, sebaiknya iklan dapat dibuat dengan membawa pesan yang positif hal ini sudah di atur di perundang - undangan.

UNDANG – UNDANG TENTANG PERIKLANAN PRODUK PANGAN DI INDONESIA
UU RI No. 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran Siaran iklan 
Pasal 46
(1) Siaran iklan terdiri atas siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.
(2) Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,Pasal 4, dan Pasal 5.
(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
a.promosi yang berhubungan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan  atau kelompok yang menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain atau kelompok lain;
b.promosi minuman keras atau sejenisnya, dan bahan atau zat adiktif;
c.promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d.hal–hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai–nilai agama; dan atau
e.eksploitasi anak dibawah usia 18 tahun.
(4) Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan KPI.
(5) Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggungjawab lembaga penyiaran.
(6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran anak–anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak–anak.
(7) Lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat.
(8) Waktu siaran iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta sebanyak–banyaknya 20% (dua puluh persen) sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15% (lima belas persen) dari seluruh waktu siaran.
(9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari siaran iklannya
(10)Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapapun untuk kepentingan apapun kecuali untuk siaran iklan.
(11)Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri.

UU RI No. 7 Tahun 1996
Tentang
Pangan

Pasal 33
1.  Setiap label atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat        keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
2.  Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam dan atau dengan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar atau menyesatkan.
Pasal 34
1.  Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.


PP RI No. 69 Tahun 1999
Tentang
LABEL DAN IKLAN PANGAN
BAB III.
IKLAN PANGAN
Bagian Pertama
UMUM

Pasal 45
1.   Setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan untuk diperdagangkan, dilarang memuat pernyataan dan atau keterangan yang tidak benar dan atau yang dapat menyesatkan dalam iklan.
2.   Penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggungjawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kebenaran isi iklan yang bersangkutan.
3.   Untuk kepentingan pengawasan, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilarang merahasiakan identitas, nama dan alamat pemasang iklan.
Pasal 47
1.   Iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluarkan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya.
2.   Iklan dilarang semata-mata menampilkan anak-anak berusia dibawah 5 (lima) tahun dalam bentuk apapun, kecuali pangan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia dibawah 5 (lima) tahun.
3.   Iklan tentang pangan olahan tertentu yang mengandung bahan-bahan yang berkadar tinggi yang dapat membahayakan dan atau mengganggu pertumbuhan dan atau perkembangan anak-anak dilarang dimuat dalam media apapun yang secara khusus ditujukan untuk anak-anak.
4.   Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan 1 (satu) tahun dilarang dimuat dalam media massa, kecuali dalam media cetak khusus tentang kesehatan, setelah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan, dan dalam iklan yang bersangkutan wajib memuat keterangan bahwa pangan yang bersangkutan bukan pengganti ASI.

Bagian Kedua
Iklan Pangan yang berkaitan dengan Gizi dan Kesehatan

Pasal 48
Pernyataan dalam bentuk apapun tentang manfaat pangan bagi kesehatan yang dicantumkan pada iklan dalam media massa, harus disertai dengan keterangan yang mendukung pernyataan itu pada iklan yang bersangkutan secara jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Pasal 49
1.   Iklan dalam media massa yang menyatakan bahwa pangan tersebut adalah pangan yang diperuntukkan bagi orang yang menjalankan diet khusus, wajib mencantumkan unsur-unsur dari pangan yang mendukung pernyataan tersebut.
2.   Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), iklan tersebut wajib pula memuat keterangan tentang kandungan gizi pangan serta dampak yang mungkin terjadi apabila pangan tersebut dikonsumsi oleh orang lain yang
tidak menjalankan diet khusus dimaksud.
Pasal 50
Iklan dilarang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul, dan segera memberikan kekuatan.



Bagian Ketiga
Iklan tentang Pangan untuk Kelompok Orang Tertentu

Pasal 51
1.   Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi dan atau anak berumur dibawah lima tahun wajib memuat keterangan mengenai peruntukannya.
2.   Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), iklan dimaksud harus pula memuat peringatan mengenai dampak negatif pangan yang bersangkutan bagi kesehatan.
Pasal 52
Iklan tentang pangan olahan yang mengandung bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan atau kesehatan anak, wajib memuat peringatan tentang dampak negatif pangan tersebut bagi pertumbuhan dan kesehatan anak.
Pasal 53
Iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat.

Bagian Keempat
Iklan yang berkaitan dengan Asal dan Sifat Bahan Pangan

Pasal 54
Iklan tentang pangan yang dibuat tanpa mengunakan atau hanya sebagian menggunakan bahan baku alamiah dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alamiah.
Pasal 55
Iklan tentang pangan yang dibuat dari bahan setengah jadi atau bahan jadi, dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan tersebut dibuat dari bahan yang segar.
Pasal 56
Iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin, mineral atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut benar dilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut.
Bagian Kedua
Iklan Pangan yang berkaitan dengan Gizi dan Kesehatan

Pasal 48
Pernyataan dalam bentuk apapun tentang manfaat pangan bagi kesehatan yang dicantumkan pada iklan dalam media massa, harus disertai dengan keterangan yang mendukung pernyataan itu pada iklan yang bersangkutan secara jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Pasal 49
1.   Iklan dalam media massa yang menyatakan bahwa pangan tersebut adalah pangan yang diperuntukkan bagi orang yang menjalankan diet khusus, wajib mencantumkan unsur-unsur dari pangan yang mendukung pernyataan tersebut.
2.   Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), iklan tersebut wajib pula memuat keterangan tentang kandungan gizi pangan serta dampak yang mungkin terjadi apabila pangan tersebut dikonsumsi oleh orang lain yang tidak menjalankan diet khusus dimaksud.
Pasal 50
Iklan dilarang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul, dan segera memberikan kekuatan.

Bagian Ketiga
Iklan tentang Pangan untuk Kelompok Orang Tertentu

Pasal 51
1.   Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi dan atau anak berumur dibawah lima tahun wajib memuat keterangan mengenai peruntukannya.
2.   Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), iklan dimaksud harus pula memuat peringatan mengenai dampak negatif pangan yang bersangkutan bagi kesehatan.
Pasal 52
Iklan tentang pangan olahan yang mengandung bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan atau kesehatan anak, wajib memuat peringatan tentang dampak negatif pangan tersebut bagi pertumbuhan dan kesehatan anak.
Pasal 53
Iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat.

Bagian Keempat
Iklan yang berkaitan dengan Asal dan Sifat Bahan Pangan
Pasal 54
Iklan tentang pangan yang dibuat tanpa mengunakan atau hanya sebagian menggunakan bahan baku alamiah dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alamiah.
Pasal 55
Iklan tentang pangan yang dibuat dari bahan setengah jadi atau bahan jadi, dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan tersebut dibuat dari bahan yang segar.
Pasal 56
Iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin, mineral atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut benar dilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut.
Pasal 57
Pangan yang dibuat atau berasal dari bahan alamiah tertentu hanya dapat dilakukan sebagai berasal dari bahan baku alamiah tersebut, apabila pangan tersebut mengandung bahan alamiah yang bersangkutan tidak kurang dari persyaratan minimal yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia.

Bagian Kelima
Iklan Tentang Minuman Beralkohol
Pasal 58
1.   Setiap orang dilarang mengiklankan minuman beralkohol dalam media massa apapun.
2.   Minuman beralkohol sebagaimana dimaksud alam ayat (1) adalah minuman berkadar etanol (C2H5OH) lebih dari atau sama dengan 1% (satu per seratus )


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 9
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterengan yang lengkap;
k. Mengandung sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau     jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan.
Pasal 13
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan     suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah     berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak     memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
Pasal 17
1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
    a. Mengelabui konsumen mengenai fasilitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan  harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa.
    b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa
    c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
    d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
    e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
    f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan   mengenai periklanan.
(dyms, dkk. Doc)

sumber :  

Video iklan diatas adalah iklan malkist roma, diman cerita iklan diatas adalah didalam suasana kerja yang kurang semangat, dikarena sebagian karyawan belum sarapan, lalu ada teman mereka membawa cracke malkist roma, yang dienak - enakan makannya sehingga sampai teman - temannya menyerbu untuk ambil malkist roma tsb, setelah makan malkist roma , karyawan - karyawan tsb menjadi semangat.
iklan ini mempunyai pesan bahwa  malkist roma ini dapat dikonsumsi saat kerja, disaat sela - sela bekerja, dan iklan ini juga memuat kandungan dalam malkist roma ini. Iklan tidak semudah itu, periklan juga ada etikanya seperti pembahasaan dibawah ini

TATA KRAMA DAN TATA CARA
PERIKLANAN INDONESIA
periklanan sebagai salah satu sarana penerangan dan sarana pemasaran, memeganng peranan penting di dsalam pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia. Sebagai sarana penerangan dan pemasaran, periklanan merupakan bagian dari kehidupan media komunikasi yang vital perkembangan dunia usaha serta harus berfungsi menunjang pembangunan.
Demi tanggung jawab sosial dan melindungi nilai-nilai budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, perlu dibentuk pola pengarahan periklanan nasional yang konsepsional. Pola pengarahan periklanan itu harus menunjang asas trilogi pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, termasuk kemajuan dunia usaha, periklanan nasional, dan media komunikasi massa.

TATA KRAMA
A. Asas-asas Umum
Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahakan martabat agama, adat budaya, suku dan golongan.
Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan sehat.
B. Penerapan Umum
Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dasn tidask bertentangan dengan hokum yang berlaku.
Jujur
Iklan tidak boleh menyesatkan, antara lain dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabuhi, dasn memberikan janji yang berlebihan.
Bertanggung jawab
Iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat.
Tidak bertentangan dengan hukum
Iklan harus mematuhi UU dan peranturan pemerintah yang berlaku.
Isi iklan
Pernyataan dan janji mengenai produk dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Kesaksian konsumen
Harus dilengkapi dengan pernyataan tertulils berdasarkan pengalaman yang sebenarnya. Nama dan alamat pemberi kesaksian harus dinyatakan dengan jelas dan sebenarnya.
Pencantuman harga
Bilamana harga suatu produk dicantumkan dalam iklan, maka harus jelas sehingga konsumen mengetahui barang apa yang akan diperoleh dengan harga tersebut.
Perbandingan harga
Bila dilakukan suatu perbandingan harga atas suatu produk dengan produk lainnya, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas.
Pemakaian kata “Cuma-Cuma” atau sejenisnya
Kata “Cuma-Cuma atau sejenisnya tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila tenyata konsumen harus membayar sejumlah uang di luar biaya pengiriman sebenarnya. Bila biaya pengiriman ini akan dibebankan kepada konsumen, maka harus dicantumkan dengan jelas.
Janji pengambilan uang :
Bila suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi (warranty) untuk pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen, maka :
Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus jelas dan lengkap dicantumkan, antara lain batas-batas resiko iklan, jenis-jenis kerusakan/kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang.
Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum.
Janji jaminan mutu atau garansi :
Bila sautu iklan menjamin mutu suatu poroduk, maka dasar-dasar jaminan harus dapat di pertanggungjawabkan.
Rasa takut / takhayul :
Iklan tidak boleh mempermainkan rasa takut dan kepercayaan orang terhadap takhayul tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kekerasan :
Iklan tidak boleh merangsang atau memberikan tindakan-tindakan kekerasan.
Keselamatan
Iklan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak boleh menampilkan adegan yang berbahaya atau membenarkan pengabaian segi-segi keselamatan, terutama yang tidak ada hubungannya denag produk yang diiklankan.
Perlindungan hak-hak pribadi :
Iklan tidak boleh menampilkan melibatkan seseorang tanpa ada persetujuan terlebih dahulu. Ketentuan ini tidak berlaku untuk penampilan masal atau sebagai latar belakang dimana seseorang dapat dikenal, kecuali jika penampilan tersebut dapat dianggap merugikan.
Anak-anak :
Iklan yang ditujukan atau yang mungkin melibatkan anak-anak tidak boleh menampilakan dalam bentuk apapun hal-hal yang dianggap dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, mengambil manfaat atas kemudahan percayaan, kekurangan pengalaman, atau kepolosan hati mereka.
Istilah ilmiah dan statistik :
Iklan tidak boleh menyalah gunaklan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menciptakan kesan yang berlebihan.
Ketiadaan produk
Iklan hanya boleh dipasang bila telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diklankan dipasar.
Penggunaan kata berlebih-lebihan:
Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “ter”,”paling”,”nomor satu” dan sejen isnya tanpa menjelaskan dalam bidsang apa keunggulan itu.
Perbandingan langsung :
Iklan yang baik tidak mengadakan perbandingan langsung dengan produk-produk saingannya. Apalagi perbandingan semacam ini diperlukan, maka dassar perbandingan harus sama dsan jelas. Konsumen tidsak disesatkan oleh perbandingan tersebut.
Merendahkan :
Iklan tidak boleh secara langsungataupun tidask langsungmerendashkan produk lain.
Peniruan :
Iklan tidak boleh meniru iklan lain sedemikian rupa sehingga menimbulkan penyesatan. Hal ini meliputi merek dagang, logo, komposisi huruf dan gambar, slogan, posisioning, cara penampilan dan jingle.
Rujukan :
Buku Studi Periklanan Dalam Perpektif Komunikasi Pemasaran
Sedangkan menurut Regulasi Pemerintahan :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139)
Siaran Iklan
Pasal 25
Materi siaran iklan harus sesuai kode etik periklanan, persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib
mengikuti standar siaran untuk anak-anak.
Iklan rokok pada lembaga penyelenggara penyiaran radio dan televisi hanya dapat disiarkan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.
RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat yang dilakukan dalam waktu yang tersebar mulai dari pukul 05.00 sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dengan harga khusus, atau jika dalam keadaan darurat ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan keperluan.
Waktu siaran iklan niaga RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal paling banyak 15% (lima belas perseratus) dari seluruh waktu siaran setiap hari.
Waktu siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari siaran iklannya setiap hari.
Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri dan ditayangkan di televisi adalah buatan dalam negeri, lokasi di Indonesia, bintangnya orang Indonesia, dan sutradaranya orang Indonesia.

sumber : 

ENRON

PENDAHULUAN

Amerika Serikat yang selama ini dianggap sebagai kiblat. Skandal bisnis yang terjadi seakan memupus dan mereduksi trust pelaku bisnis dunia tentang pionir praktik Good Corporate Governance di Amerika Serikat. Selain Enron yang hancur berkeping terdapat beberapa skandal bisnis yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat. Perusahaan yang melakukan manipulasi adalah Elan (perusahaan Sektor Farmasi), Halliburton (perusahaan minyak) dan Harken Energy di mana George W. Bush pernah menjadi direksi. Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.

Kasus Enron mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun 2002 berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang di tandai dengan menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar. Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat.

Kronologis, fakta, data dan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan hancurnya Enron (debacle), dapat penulis kemukakan sebagai berikut:

>> Board of Director (dewan direktur, direktur eksekutif dan direktur non eksekutif) membiarkan kegitan-kegitan bisnis tertentu mengandung unsur konflik kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi yang hanya bisa di akses oleh pihak dalam perusahaan (insider trading), termasuk praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada publik.

>> Enron merupakan salah satu perusahaan besar pertama yang melakukan out sourcing secara total atas fungsi internal audit perusahaan.

PEMBAHASAN

Contoh kasus-kasus yang berhubungan dengan etika dalam berbisnis, yaitu : Pada awal tahun 2001 patner KAP Andersen melakukan evaluasi terhadap kemungkinan mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan, mengingat resiko yang sangat tinggi berkaitan dengan praktek akuntansi dan bisnis enron. Dari hasil evaluasi di putuskan untuk tetap mempertahankan Enron sebagai klien KAP Andersen.

Dan Salah seorang eksekutif Enron di laporkan telah mempertanyakan praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan kekhawatiran berkaitan dengan hal tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen pada pertengahan 2001. CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk melakukan investigasi atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan penasehat hukum untuk mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi akuntansi yang dipersoalkan. Hasil investigasi oleh penasehat hukum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada hal-hal yang serius yang perlu diperhatikan.
Pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi $393 juta, naik $100 juta dibandingkan periode sebelumnya.

CEO Enron, Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644 juta. Para analis dan reporter kemudian mencari tahu lebih jauh mengenai beban $1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron.

Pada tanggal 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan perusahaan ke pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang tidak di laporkan senilai lebih dari satu milyar dolar. Dengan pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang di tahan (retained earning) berkurang dalam jumlah yang sama. Enron dan KAP Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron (penghambatan terhadap proses peradilan ). Dana pensiun Enron sebagian besar diinvestasikan dalam bentuk saham Enron. Sementara itu harga saham Enron terus menurun sampai hampir tidak ada nilainya.
KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor enron pada pertengahan juni 2002. sementara KAP Andersen menyatakan bahwa penugasan Audit oleh Enron telah berakhir pada saat Enron mengajukan proses kebangkrutan pada 2 Desember 2001.

CEO Enron, Kenneth Lay mengundurkan diri pada tanggal 2 Januari 2002 akan tetapi masih dipertahankan posisinya di dewan direktur perusahaan. Pada tanggal 4 Pebruari Mr. Lay mengundurkan diri dari dewan direktur perusahaan. Tanggal 28 Pebruari 2002 KAP Andersen menawarkan ganti rugi 750 Juta US dollar untuk menyelesaikan berbagai gugatan hukum yang diajukan kepada KAP Andersen. Pemerintahan Amerika (The US General Services Administration) melarang Enron dan KAP Andersen untuk melakukan kontrak pekerjaan dengan lembaga pemerintahan di Amerika. Tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena telah menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang di selidiki. KAP Andersen terus menerima konsekuensi negatif dari kasus Enron berupa kehilangan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan pengungkapan yang meningkat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen dalam kasus Enron. Tanggal 22 Maret 2002 mantan ketua Federal Reserve, Paul Volkcer, yang direkrut untuk melakukan revisi terhadap praktek audit dan meningkatkan kembali citra KAP Andersen mengusulkan agar manajeman KAP Andersen yang ada diberhentikan dan membentuk suatu komite yang diketuai oleh Paul sendiri untuk menyusun manajemen baru. Tanggal 26 Maret 2002 CEO Andersen Joseph Berandino mengundurkan diri dari jabatannya. Tanggal 8 April 2002 seorang partner KAP Andersen, David Duncan, yang bertindak sebagai penanggungjawab audit Enron mengaku bersalah atas tuduhan melakukan hambatan proses peradilan dan setuju untuk menjadi saksi kunci dipengadilan bagi kasus KAP Andersen dan Enron. Tanggal 9 April 2002 Jeffrey McMahon mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden dan Chief Opereting Officer Enron yang berlaku efektif 1 Juni 2002. Tanggal 15 Juni 2002 juri federal di Houston menyatakan KAP Andersen bersalah telah melakukan hambatan terhadap proses peradilan.

Pembahasan masalah.

Menurut teori fraud ada 3 komponen utama yang menyebabkan orang melakukan kecurangan, manipulasi, korupsi dan sebangsanya (prilaku tidak etis), yaitu opportunity; pressure; dan rationalization, ketiga hal tersebut akan dapat kita hindari melalui meningkatkan moral, akhlak, etika, perilaku, dan lain sebagainya, karena kita meyakini bahwa tindakan yang bermoral akan memberikan implikasi terhadap kepercayaan publik (public trust). Studi empirik Weisen Born, Noris tahun 1997, (dalam Zabihollah : 2002), terhadap 30 perusahaan di Amerika Serikat yang memiliki indikasi sering melakukan kecurangan, dari hasil penelitian teridentifikasi faktor penyebab kecurangan tersebut diantaranya dilatarbelakangi oleh sikap tidak etis, tidak jujur, karakter moral yang rendah, dominasi kepercayaan, dan lemahnya pengendalian.

Faktor tersebut adalah merupakan prilaku tidak etis yang sangat bertentangan dengan good corporate governance philosofy yang membahayakan terhadap business going cocern. Begitu pula praktik bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak. Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, tetapi terutama karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact). Milyaran dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaaan di bursa efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairrness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat. Lalu apa yang dituai oleh Enron dan KAP Andersen dari sebuah ketidak jujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis yang tidak etis? adalah hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hukum. Artinya secara kasat mata kasus Enron (baik manajemen Enron maupun KAP Andersen) telah melakukan mal practice jika dilihat dari etika bisnis dan profesi akuntan antara lain :

1. Adanya praktik discrimination of information/unfair discrimination, melalui suburnya praktik insider trading, dimana hal ini sangat diketahui oleh Board of Director Enron, dengan demikian dalam praktik bisnis di Enron sarat dengan collusion. Kondisi ini diperkuat oleh Bussines Round Table (BRT), pada tanggal 16 Pebruari 2002 menyatakan bahwa : (a). Tindakan dan perilaku yang tidak sehat dari manajemen Enron berperan besar dari kebangkrutan perusahaan; (b). Telah terjadi pelanggaran terhadap norma etika corporate governance dan corporate responsibility oleh manajemen perusahaan; (c). Perilaku manajemen Enron merupakan pelanggaran besar-besaran terhadap kepercayaan yang diberikan kepada perusahaan.

2. Adanya Deception Information, yang dilakukan pihak manajemen Enron maupun KAP Arthur Andersen, mereka mengetahui tentang praktek akuntansi dan bisnis yang tidak sehat. Tetapi demi trust dari investor dan publik kedua belah pihak merekayasa laporan keuangan mulai dari tahun 1985 sampai dengan Enron menjadi hancur berantakan.Bahkan CEO Enron saat menjelang kebangkrutannya masih tetap melakukan Deception dengan menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. KAP Andersen tidak mau mengungkapkan apa sebenarnya terjadi dengan Enron, bahkan awal tahun 2001 berdasarkan hasil evaluasi Enron tetap dipertahankan, hal ini dimungkinkan adanya coercion atau bribery, karena pihak Gedung Putih termasuk Wakil Presiden Amerika Serikat juga di indikasikan terlibat dalam kasus Enron ini.

3. Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan publik- The big six- yang melakukan Audit terhadap laporan keuangan Enron Corp. tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan Enron, KAP Andersen telah melakuklan tindakan yang tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Arthur Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Disini Andersen telah ingkar dari sikap profesionallisme sebagai akuntan independen dengan melakukan tindakan knowingly and recklessly yaitu menerbitkan laporan audit yang salah dan meyesatkan (deception of information).

KESIMPULAN

Pihak manajemen Enron telah melakukan berbagai macam pelanggaran praktik bisnis yang tidak sehat ( Deception, discrimination of information, coercion, bribery ) dan keluar dari prinsif Good Corporate Governance. Akhirnya Enron harus menuai suatu kehancuran yang tragis dengan meninggalkan hutang milyaran dolar.

KAP Andersen sebagai pihak yang seharusnya menjungjung tinggi independensi, dan profesionalisme telah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar dari tanggungjawab terhadap profesi maupun masyarakat diantaranya melalui Deception, discrimination of information, coercion, bribery. Akhirnya KAP Andersen di tutup disamping harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum.

Dari berbagai macam kasus di atas harus menjadi sebuah pelajaran sesungguhnya suatu praktik atau prilaku yang dilandasi dengan ketidakbaikan maka akhirnya akan menuai ketidakbaikan pula termasuk kemadharatan bagi banyak pihak. Hal ini bukan hanya berlaku di Amerika Serikat tetapi bagi semua orang/pihak yang ada di belahan dunia ini.